Pendidikan Islam diawali
dengan wahyu pertama di gua Hira saat Rasulullah SAW mendapatkan wahyu yang
pertama di usianya yang ke-40. Semangat iqra’ ini yang memiliki kekuatan
dahsyat dalam pengembangan pendidikan. Kemudian di Indonesia sendiri diawali
dengan berdirinya pesantren oleh para walisongo. Seperti pesantren Ampel oleh
Sunan Ampel, Pesantren Bonang di Tuban oleh Sunan Bonang, Pesantren Drajat di
Lamongan oleh Sunan Drajat dan Sunan Giri juga dengan pesantren Giri di Gresik.
Pondok pesantren merupakan ciri khas dari pendidikan Islam di Indonesia.[1]
Eksistensi pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam pada awalnya ialah sebagai media islamisasi
dengan memadukan tiga unsur. Ketiga unsur tersebut ialah ibadah untuk
menambahkan iman, tabligh untuk menyebarkan Islam dan ilmu serta amal untuk
mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam masyarakat.[2]
Pada mulanya ada seorang
santri yang kembali ke desanya di mana ia berasal setelah menimba ilmu agama. Karena
kecakapan dan kemampuan terhadap ilmu agama Islam yang dalam, akhirnya beberapa
masyarakat sekitar menyerahkan putra-putranya untuk menimba ilmu kepada orang
tersebut yang kemudian dikenal “kyai”.
Mereka yang belajar kepada kyai (santri) ditempatkan di rumah kyai,
karena semakin bertambah jumlah santrinya akhirnya dibangunlah pondok-pondok
untuk menampung mereka. Pondok pesantren terdiri dari dua kata, “pondok”
berarti “tempat tinggal” dan “pesantren” adalah “penyantrian” maka pondok
pesantren adalah tempat santri atau proses menjadi santri.[3]
Kondisi pendidikan di
pondok pesantren perlu diwujudkan dalam suasana yang kondusif dan efektif. Dengan demikian, kyai dan santri memutuskan
kesepakatan terkait pendidikan, pengajaran, pondokan dan tata cara keseharian. Secara umum, pola kehidupan di pesantren
dijalani dengan penuh keikhlasan, kemandirian, ukhuwah islamiah,
kebebasan yang penuh tanggung-jawab.
Sedangkan komponen utama di pesantren adalah; kyai, santri, musholla
atau masjid, pondok dan pengajian kitab. Keberadaan pola kehidupan dan
komponen-komponen di pesantren inilah yang membedakan pondok pesantren dengan
lembaga pendidikan Islam lainnya. [4]
Pesantren terus
berkembang, berbagai inovasi dilakukan
untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Hal itu didasarkan pada prinsip continuity and change, atau dalam
istilah salafiah dikenal dengan almuhafadhatu ‘ala alqadiimi al-shoolih
wa al-ahdu bi al-jadiidi al-ashlah. Maka kemudian pondok pesantren dalam
perkembangannya dikategorikan menjadi dua, pesantren salafi dan
pesantren khalafi. Pondok pesantren salafi mengajarkan
kitab-kitab klasik, sedangkan pondok pesantren khalafi selain pengkajian
kita klasik juga mengajarkan pelajaran-pelajaran umum dalam bentuk madrasah
atau sekolah. Sekolah tersebut berada di lingkungan pesantren atau pun di luar
pesantren. [5]
Abdullah Syukri membagi
tiga kategori pesantren; pesantren tradisional, pesantren modern dan pesantren
terpadu (paduan modern dan tradisional). Berdasarkan hasil pemetaan Departemen
Agama pada tahun 2005 jumlah pondok pesantren tradisional sebanyak 9.105, pesantren
modern 1.172 dan pesantren terpadu 4.370.[6]
Pendidikan Islam dewasa ini
dihadapkan dengan banyak tantangan yang mengancam keberadaannya.[7] Kategori
pesantren tidak hanya mendapatkan tantangan dari eksternalnya saja, semisal
tantangan globalisasi, tapi juga dari internalnya sendiri. Salah satu tantangan
internal yaitu masalah yang dihadapi
oleh pendidik terhadap anak didiknya.
Yaitu, bagaimana menghadapi tugas-tugas yang ada di lembaga pendidikan
baik di sekolah yang hanya memberikan pendidikan umum saja atau yang memberikan
pendidikan dengan perpaduan antara pendidikan agama dan umum, apalagi kalau
dunia tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang tidak seperti tempat
pendidikan lain, yaitu sebuah sekolah menengah atas yang di bawah naungan
pondok pesantren.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder, selain rumah
sebagai lingkungan di mana ia berada sekolah juga lingkungan ke dua bagi anak
didik. Siswa di SMP dan SMA pada umumnya menghabiskan waktu tujuh jam di
sekolahnya. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktunya setiap hari
dihabiskan di sekolah. Tidak
mengherankan lingkungan sekolah memberi pengaruh terhadap perkembangan jiwa
remaja. [8]
Dalam rangakaian pendidikan sekolah menengah atas di lingkungan
pesantren tidak memiliki perbedaan ketika menjelang ujian nasional (UN), sama
seperti halnya di sekolah-sekolah lain, yang menjadi perbedaan yaitu siswa di
pesantren memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakan bersama-sama, yaitu
kegiatan kepesantrenan yang harus dikerjakan bersama-sama.
Kemampuan mengontrol diri (self control) menjadi sangat
berarti untuk meminimalkan perilaku buruk yang dijumpai dalam kehidupan di
masyarakat termasuk juga dalam lingkungan sekolah. Menurut Santrock, bila individu tidak mampu mengendalikan
dirinya dapat diartikan bahwa mereka gagal membedakan tingkah laku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah
mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang
memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. [9]
Goldfried dan Marbaum mengatakan bahwa
kemampuan ini disebut dengan self-control. Yaitu kamampuan individu
dalam menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat
membawa ke arah konsekwensi yang positif.[10]
Ujian nasional merupakan ujian penentu
bagi lulus tidaknya anak didik dalam menempun pendidikannya. Baik itu
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama
atau yang setara atau pun Sekolah Menengah Atas. Penelitian ini dilaksanakan di
SMA Ar-Risalah Lirboyo Kota Kediri, dengan sistem Pendidikan Pesantren
Terpadu. Santri selain belajar ilmu
agama di pesantren juga belajar ilmu-ilmu umum di sekolah yang berada di bawah
naungan yayasan. Sehingga, bagi siswa-siswi kelas IX dan XII selain disibukkan
oleh pelajaran pesantren juga akan menghadapi UN sebagai penentu kelulusan.
Dalam rangka mewujudkan anak didik yang
mumpuni, maka aturan dan tata tertib sudah menjadi bagian penting bagi
keseharian santri. Anak didik (santri).
Menurut Goldfried dan Marbaum individu memiliki pengendalian diri (self
control) yang berbeda-beda, ada yang kemampuan pengendalian dirinya tinggi
dan ada juga yang rendah. [11]
Ujian nasional sebagai penentu
kelulusan anak didik di sekolah formalnya sudah seharusnya menjadi perhatian. Perbedaan
anak didik dalam menyikapinya ternyata berbeda antara satu individu dengan yang
lain. Namun, secara umum mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik dengan
adanya tuntutan pesantren dan tuntutan persiapan UN. Mereka yang tak memiliki control diri yang
baik akan memiliki kesulitan dalam mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Menurut Averil ada tigas aspek penting
dari self-control, yaitu: mengontrol perilaku (behavior), mengontrol kognisi (cognitive control),
dan mengontrol keputusan (Decisional control).[12] Ketiga aspek ini akan
menentukan model perilaku yang akan ditampilkan oleh individu. Pelanggaran terhadap disiplin, kecenderungan
bertingkahlaku negatif merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang
ditampilkan oleh individu dengan kontrol diri (self-control) yang lemah.
[13]
Berdasarkan fakta yang ada, setiap
kenaikan kelas anak didik ke kelas XII selalu ada beberapa siswi yang sakit
sehingga tak mengikut kegiatan belajar mengajar di sekolah atau pun di
pesantren. Sudah jelas siswi tersebut meninggalkan banyak jam pelajara bahkan
ada yang sampai sebulan tidak kembali ke pesantren karena sakit. Padahal,
sebelum-sebelumnya ketika siswi masih di kelas X dan XI tidak sakit-sakitan.
Hal ini tidak hanya dialami oleh seorang siswi, tapi beberapa siswi bahkan
terulang-ulang setiap tahunnya.[14]
Menurut Tangney ada lima aspek self
control; self-discipline, deliberate/monimpulsive, healthy habits, work
ethic and reliability.[15] Siswi yang sakit-sakitan
merupakan adanya aspek self control yang lemah, yaitu terkait healthy
habits. Healthy habits adalah
kemampuan individu untuk mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang
menyehatkan bagi dirinya. Individu dengan healthy habits yang baik akan
menolah sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya sendiri
meskipun hal tersebut menyenangkan. Selain itu individu akan mengutamaan
hal-hal yang dapat memberikan dampak positif bagi dirinya sendiri meskipun
tidak secara langsung.[16]
Hal yang menarik dari fakta di atas,
meskipun siswi memiliki self control yang lemah—healtyh habits
yang lemah—ternyata mampu mempertahankan prestasinya. Berdasarkan fakta ini peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “SELF CONTROL SISWI KELAS XII A SMA
AR-RISALAH DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL (Studi Kasus di SMA Ar-Risalah
Lirboyo Kota Kediri Tahun 2015).”
[1] Abd.
Hali Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
SISDIKNAS (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 5-6.
[2] Ibid.,
33-34.
[3] Ibid.,
35.
[4] Ibid.
[5] Ibid.,
46-47.
[6] Ibid.
[7] Hery
Noer Aly & Munzier, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung
Insani, 2000), 227.
[8] Sarlito
W. Sarwono, Psikologi Remaja ()150.
[9] John W. Santrock, Adolescence, (Jakarta: Penerbit Erlangga
2003), 523-524
[10] Abdul Muhid, “Hubungan Antara Self-Control Dan Self-Efficacy
Dengan Kecenderungan Perilaku Prokrastinasi Akademik Mahasiswa” (Penelitian oleh Staf Pengajar Program Studi Psikologi IAIN Sunan Ampel
Surabaya), 2.
[11] Abdul Muhid, “Hubungan Antara Self-Control Dan Self-Efficacy
Dengan Kecenderungan Perilaku Prokrastinasi Akademik Mahasiswa” (Penelitian oleh Staf Pengajar Program Studi Psikologi IAIN Sunan Ampel
Surabaya), 2.
[13] Bernardus Widodo, “Perilaku Disiplin Siswa
Ditinjau Dari Aspek Pengendalian Diri (Self
Control) Dan Keterbukaan Diri (Self
Disclosure) Pada Siswa Smkwonoasri Caruban Kabupaten Madiun”, (Widya
Warta No. 01, Universitas Katolik
Widya Mandala Madiun, Tahun XXXV II/ Januari 2013), 143
[14] Khairul
Anam, KASI Kesehatan Pondok Pesantren Ar-Risalah Lirboyo, Kota Kediri, 27
Februari 2015.
[15] Nela
Regar dkk, “Prokrastinasi Akademik dan Self-Control pada Mahasiswa
Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya”, Makara Seri Sosial
Humaniora, 17 (2013), 4.
[16] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar