Rabu, 08 April 2015

Testing


Pendidikan Islam diawali dengan wahyu pertama di gua Hira saat Rasulullah SAW mendapatkan wahyu yang pertama di usianya yang ke-40. Semangat iqra’ ini yang memiliki kekuatan dahsyat dalam pengembangan pendidikan. Kemudian di Indonesia sendiri diawali dengan berdirinya pesantren oleh para walisongo. Seperti pesantren Ampel oleh Sunan Ampel, Pesantren Bonang di Tuban oleh Sunan Bonang, Pesantren Drajat di Lamongan oleh Sunan Drajat dan Sunan Giri juga dengan pesantren Giri di Gresik. Pondok pesantren merupakan ciri khas dari pendidikan Islam di Indonesia.[1]
Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada awalnya ialah sebagai media islamisasi dengan memadukan tiga unsur. Ketiga unsur tersebut ialah ibadah untuk menambahkan iman, tabligh untuk menyebarkan Islam dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam masyarakat.[2]
Pada mulanya ada seorang santri yang kembali ke desanya di mana ia berasal setelah menimba ilmu agama. Karena kecakapan dan kemampuan terhadap ilmu agama Islam yang dalam, akhirnya beberapa masyarakat sekitar menyerahkan putra-putranya untuk menimba ilmu kepada orang tersebut yang kemudian dikenal “kyai”.  Mereka yang belajar kepada kyai (santri) ditempatkan di rumah kyai, karena semakin bertambah jumlah santrinya akhirnya dibangunlah pondok-pondok untuk menampung mereka. Pondok pesantren terdiri dari dua kata, “pondok” berarti “tempat tinggal” dan “pesantren” adalah “penyantrian” maka pondok pesantren adalah tempat santri atau proses menjadi santri.[3]
Kondisi pendidikan di pondok pesantren perlu diwujudkan dalam suasana yang kondusif dan efektif.  Dengan demikian, kyai dan santri memutuskan kesepakatan terkait pendidikan, pengajaran, pondokan dan tata cara keseharian.  Secara umum, pola kehidupan di pesantren dijalani dengan penuh keikhlasan, kemandirian, ukhuwah islamiah, kebebasan yang penuh tanggung-jawab.  Sedangkan komponen utama di pesantren adalah; kyai, santri, musholla atau masjid, pondok dan pengajian kitab. Keberadaan pola kehidupan dan komponen-komponen di pesantren inilah yang membedakan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. [4]
Pesantren terus berkembang,  berbagai inovasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.  Hal itu didasarkan pada prinsip continuity and change, atau dalam istilah salafiah dikenal dengan almuhafadhatu ‘ala alqadiimi al-shoolih wa al-ahdu bi al-jadiidi al-ashlah.  Maka kemudian pondok pesantren dalam perkembangannya dikategorikan menjadi dua, pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pondok pesantren salafi mengajarkan kitab-kitab klasik, sedangkan pondok pesantren khalafi selain pengkajian kita klasik juga mengajarkan pelajaran-pelajaran umum dalam bentuk madrasah atau sekolah. Sekolah tersebut berada di lingkungan pesantren atau pun di luar pesantren. [5]
Abdullah Syukri membagi tiga kategori pesantren; pesantren tradisional, pesantren modern dan pesantren terpadu (paduan modern dan tradisional). Berdasarkan hasil pemetaan Departemen Agama pada tahun 2005 jumlah pondok pesantren tradisional sebanyak 9.105, pesantren modern 1.172 dan pesantren terpadu 4.370.[6]
Pendidikan Islam dewasa ini dihadapkan dengan banyak tantangan yang mengancam keberadaannya.[7] Kategori pesantren tidak hanya mendapatkan tantangan dari eksternalnya saja, semisal tantangan globalisasi, tapi juga dari internalnya sendiri. Salah satu tantangan internal yaitu masalah  yang dihadapi oleh pendidik terhadap anak didiknya.  Yaitu, bagaimana menghadapi tugas-tugas yang ada di lembaga pendidikan baik di sekolah yang hanya memberikan pendidikan umum saja atau yang memberikan pendidikan dengan perpaduan antara pendidikan agama dan umum, apalagi kalau dunia tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang tidak seperti tempat pendidikan lain, yaitu sebuah sekolah menengah atas yang di bawah naungan pondok pesantren.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder, selain rumah sebagai lingkungan di mana ia berada sekolah juga lingkungan ke dua bagi anak didik. Siswa di SMP dan SMA pada umumnya menghabiskan waktu tujuh jam di sekolahnya. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktunya setiap hari dihabiskan di sekolah.  Tidak mengherankan lingkungan sekolah memberi pengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja. [8]
Dalam rangakaian pendidikan sekolah menengah atas di lingkungan pesantren tidak memiliki perbedaan ketika menjelang ujian nasional (UN), sama seperti halnya di sekolah-sekolah lain, yang menjadi perbedaan yaitu siswa di pesantren memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakan bersama-sama, yaitu kegiatan kepesantrenan yang harus dikerjakan bersama-sama.
Kemampuan mengontrol diri (self control) menjadi sangat berarti untuk meminimalkan perilaku buruk yang dijumpai dalam kehidupan di masyarakat termasuk juga dalam lingkungan sekolah. Menurut Santrock,  bila individu tidak mampu mengendalikan dirinya dapat diartikan bahwa mereka gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. [9]
Goldfried dan Marbaum mengatakan bahwa kemampuan ini disebut dengan self-control. Yaitu kamampuan individu dalam menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekwensi yang positif.[10]
Ujian nasional merupakan ujian penentu bagi lulus tidaknya anak didik dalam menempun pendidikannya. Baik itu pendidikan di Sekolah Menengah  Pertama atau yang setara atau pun Sekolah Menengah Atas. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Ar-Risalah Lirboyo Kota Kediri, dengan sistem Pendidikan Pesantren Terpadu.  Santri selain belajar ilmu agama di pesantren juga belajar ilmu-ilmu umum di sekolah yang berada di bawah naungan yayasan. Sehingga, bagi siswa-siswi kelas IX dan XII selain disibukkan oleh pelajaran pesantren juga akan menghadapi UN sebagai penentu kelulusan.
Dalam rangka mewujudkan anak didik yang mumpuni, maka aturan dan tata tertib sudah menjadi bagian penting bagi keseharian santri. Anak didik (santri).  Menurut Goldfried dan Marbaum individu memiliki pengendalian diri (self control) yang berbeda-beda, ada yang kemampuan pengendalian dirinya tinggi dan ada juga yang rendah. [11]
Ujian nasional sebagai penentu kelulusan anak didik di sekolah formalnya sudah seharusnya menjadi perhatian. Perbedaan anak didik dalam menyikapinya ternyata berbeda antara satu individu dengan yang lain. Namun, secara umum mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik dengan adanya tuntutan pesantren dan tuntutan persiapan UN.  Mereka yang tak memiliki control diri yang baik akan memiliki kesulitan dalam mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Menurut Averil ada tigas aspek penting dari self-control, yaitu: mengontrol perilaku (behavior),  mengontrol kognisi (cognitive control), dan mengontrol keputusan (Decisional control).[12] Ketiga aspek ini akan menentukan model perilaku yang akan ditampilkan oleh individu.  Pelanggaran terhadap disiplin, kecenderungan bertingkahlaku negatif merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang ditampilkan oleh individu dengan kontrol diri (self-control) yang lemah. [13]
Berdasarkan fakta yang ada, setiap kenaikan kelas anak didik ke kelas XII selalu ada beberapa siswi yang sakit sehingga tak mengikut kegiatan belajar mengajar di sekolah atau pun di pesantren. Sudah jelas siswi tersebut meninggalkan banyak jam pelajara bahkan ada yang sampai sebulan tidak kembali ke pesantren karena sakit. Padahal, sebelum-sebelumnya ketika siswi masih di kelas X dan XI tidak sakit-sakitan. Hal ini tidak hanya dialami oleh seorang siswi, tapi beberapa siswi bahkan terulang-ulang setiap tahunnya.[14]
Menurut Tangney ada lima aspek self control; self-discipline, deliberate/monimpulsive, healthy habits, work ethic and reliability.[15] Siswi yang sakit-sakitan merupakan adanya aspek self control yang lemah, yaitu terkait healthy habits. Healthy habits  adalah kemampuan individu untuk mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang menyehatkan bagi dirinya. Individu dengan healthy habits yang baik akan menolah sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya sendiri meskipun hal tersebut menyenangkan. Selain itu individu akan mengutamaan hal-hal yang dapat memberikan dampak positif bagi dirinya sendiri meskipun tidak secara langsung.[16]
Hal yang menarik dari fakta di atas, meskipun siswi memiliki self control yang lemah—healtyh habits yang lemah—ternyata mampu mempertahankan prestasinya.  Berdasarkan fakta ini peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “SELF CONTROL SISWI KELAS XII A SMA AR-RISALAH DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL (Studi Kasus di SMA Ar-Risalah Lirboyo Kota Kediri Tahun 2015).”






[1] Abd. Hali Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU SISDIKNAS (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 5-6.
[2] Ibid., 33-34.
[3] Ibid., 35.
[4] Ibid.
[5] Ibid., 46-47.
[6] Ibid.
[7] Hery Noer Aly & Munzier, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), 227.
[8] Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja ()150.
[9] John W. Santrock, Adolescence, (Jakarta: Penerbit Erlangga 2003), 523-524
[10] Abdul Muhid, “Hubungan Antara Self-Control Dan Self-Efficacy Dengan Kecenderungan Perilaku Prokrastinasi Akademik Mahasiswa”  (Penelitian oleh Staf Pengajar Program Studi Psikologi IAIN Sunan Ampel Surabaya), 2.
[11] Abdul Muhid, “Hubungan Antara Self-Control Dan Self-Efficacy Dengan Kecenderungan Perilaku Prokrastinasi Akademik Mahasiswa”  (Penelitian oleh Staf Pengajar Program Studi Psikologi IAIN Sunan Ampel Surabaya), 2.

[13] Bernardus Widodo, “Perilaku Disiplin Siswa Ditinjau Dari Aspek Pengendalian Diri (Self Control) Dan Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Pada Siswa Smkwonoasri Caruban Kabupaten Madiun”, (Widya Warta No. 01, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, Tahun XXXV II/ Januari 2013), 143
[14] Khairul Anam, KASI Kesehatan Pondok Pesantren Ar-Risalah Lirboyo, Kota Kediri, 27 Februari 2015.
[15] Nela Regar dkk, “Prokrastinasi Akademik dan Self-Control pada Mahasiswa Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya”, Makara Seri Sosial Humaniora, 17 (2013), 4.
[16] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar